Senin, 08 Mei 2023

Tentang Embah dan Tangan Ajaibnya!


Saat itu menjelang tengah malam, saya, Justin, dan Agung sedang berburu foto neon lights di jalanan Hong Kong, lalu tiba-tiba Ibu saya menelpon. Video call, sangat tidak biasa. Kata Ibu, embah panas tinggi dan tubuhnya lumpuh sebagian. Saya melipir ke pinggir taman dan berbohong ke keluarga di rumah kalo saya sedang di jalan pulang sehabis buka puasa bareng Justin dan Agung. Saya menyapa Embah di telepon  dan mengabarinya bahwa saya akan pulang ke rumah seminggu lagi, “nanti ketemu ya embah!”, kata saya dengan suara ceria. Saya melihat senyuman tipis di wajahnya, lalu telepon berakhir. Saya mencoba menikmati sisa hari di Hong Kong itu dengan perasaan gelisah. Entah kenapa saya merasa sepertinya waktu berpisah sudah dekat. Saya sepertinya sangat mudah merasakan feeling seperti itu, tanda-tanda dari mereka yang akan pergi.


Embah didiagnosa stroke, dan itu yang menyebakan tubuh bagian kirinya tidak berfungsi baik. Setelah opname beberapa hari, Ibu mengabari kondisi Embah berangsur membaik dan sudah bisa makan bakwan (sebutannnya pia-pia kalo di kampung halaman saya). “Dari semua makanan, kenapa milih maem pia-pia sih mbah?”, kata saya di telepon. Hati saya “ringan”, dan berharap bisa ketemu Embah dengan kondisi yang sudah makin membaik saat pulang nanti. Singkat cerita, saya akhirnya pulang. Sehari setelah saya sampai di rumah, kondisi Embah di luar dugaan menurun drastis. Embah hanya tidur, lama sekali. Bangun hanya sesekali, menjawab sesekali, dan makan minum sangat sedikit. Saya pegang tangannya, pijat kakinya, “mbah, aku udah pulang”, kata saya berbisik. Dia membuka matanya dengan berat, lalu tidur lagi.


Di malam terkahir saya di kampung, saya memutuskan menginap di rumah Embah bersama Ibu, Pakde, Budhe. Kata orang alim di lingkungan saya, Embah tidak boleh ditinggal sendirian malam itu. Saya sadar dan menyiapkan hati, berdzikir… mengajari hati untuk tidak terlalu sedih. Ibu dan saudaranya bergantian berjaga, sedangkan saya tidur dengan gelisah dan akhirnya terbangun dini hari. Embah sedang bangun saat itu, dan Ibu lalu meminta saya mendekat. Matanya lekat menatap saya seolah ingin menyampaikan sesuatu tapi sayang kondisinya terlalu lemah. “Embah, aku ndak apa-apa. Aku insyaallah baik-baik aja. Embah ndak usah khawatir ya”, kata saya lirih sambil menggenggam tangannya. Embah akhirnya tidur lagi. Saya lalu pulang ke rumah untuk sahur dan bersiap karena siang nanti saya harus kembali ke Jakarta. Saat sedang packing, sekitar jam 12.00 siang saya mendapat telepon dari Budhe, Embah sudah berpulang… Innalillahi wainnailaihi rojiun…



Anehnya saat mendapat kabar itu, saya merasa tegar sekali. Saya hanya sesekali menangis tanpa bersuara sembari menegarkan Ibu dan Budhe yang menagis tersedu-sedu. Saya dan adik sigap membantu persiapan pemakaman. Saya merasa seperti pengawal yang tidak emosional dan tetap bekerja secara profesional. Pemakaman berlangsung cepat dan esoknya saya kembali ke Jakarta. Di tengah perjalanan, saya mendengarkan lagu yang liriknya begini :


“Well there’s blue in the sky everyday, but all they wanna see is the gray.

And i see beauty in the facets of every life, but until a life is gone they don’t have time.

What they won’t see is all the artistry, in love and hope and grief, in God, in death, in memories.

But what i see is life as one big tapestry with vibrance, holes in time and a million threads that intertwine.

There’s just something about the way that this life is, where pain and joy and love and loss perfectly fit.

There’s just something about the way that this life is, but most of it they just exist.”


Saya sesenggukan di bis. Hehe. Semua kenangan tentang Embah melintas satu per satu di benak saya. Embah adalah sosok yang hangat, yang dengan segala keterbatasannya (materi) bisa menyayangi sepenuh hati. Saya ingat dulu sering dimarahi Bapak karena bersikeras makan di rumah Embah, Bapak tidak ingin Embah repot karena saya. Padahal menu di rumah Embah hanya sayur asem, sambal, tempe/ikan asin plus remahan rempeyek kacang merah sisa jualan dari Pasar. Walaupun sederhana, tetapi makan di rumah Embah selalu enak. Embah selalu mengeluarkan apa saja yang dia punya, misalnya segala jenis pisang-pisangan, kue apem dari hajatan semalam, dan yang paling paripurna adalah nasi jagung dan bubur jagung yang dibuatnya di atas tungku kayu. Masyaallah enak bangeeet, hangat di perut dan di hati.



Embah juga sering mengajak saya ke ladang, mencari kayu bakar, mengecek tanaman, lalu kami akan mengakhiri hari dengan minum degan yang baru diambil Pakdhe saya dari pohon. Waaah… sungguh kenikmatan haqiqi. Apalagi kami minumnya di bawah naungan pohon dan duduk sembarangan di atas rumput (bahasa jawanya ngelempoh). Setelah dari ladang, dia akan bersiap membuat rempeyek kacang merah yang akan dijual di pasar esok harinya. Saya ingat, saya hampir selalu menunggunya di samping tungku kayu, mengamatinya. Bagaimana dia bisa membuat rempeyek berbentuk hampir bulat sempurna tanpa cetakan? Fyi, tidak semua pembuat rempeyek bisa membuatnya seperti Embah saya. Sesekali saya mengganggunya dengan meminta rempeyek yang baru turun dari penggorengan. Dia tidak pernah sekali pun marah walaupun saya bolak-balik ke dapur mengambil stok jualannya dan pergi main tanpa beban. Mungkin karena itu saya suka sekali di dekat mbah, sampai kepingin banget nemein Embah jualan di Pasar subuh-subuh. Tapi lagi-lagi dimarahin Bapak.


Embah adalah seorang Ibu luar biasa yang membesarkan kelima anaknya hampir tanpa dukungan suaminya. Mbah Kung (Kakek) saya pergi merantau dan lama tidak kembali. Saya kurang tau jelas seperti apa kisahnya, tetapi sejak Mbah Kung pergi, Embah sendirian membesarkan Ibu dan saudara-saudaranya. Dia melakukan semua hal, bekerja sampingan sana-sini. Mulai dari berdagang di pasar, buruh tani, pengasuh anak, pembantu rumah tangga, kerja di rumah, dan ladang sendiri. Tangguh banget! Saya ingat Ibu pernah cerita, Embah menangis sambil menggenggam tangannya yang gemetaran karena putus asa melihat anaknya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa dia penuhi. Tentu saja karena tidak ada uang untuk membeli. Sedih banget! Tapi untungnya Embah orang yang tegar. Kalo saja dia menyerah dengan keadaannya saat itu, Ibu saya tidak akan tumbuh sebaik itu, dan saya tidak akan ada saat ini. Meskipun hidupnya sangat keras dan penuh perjuangan, Embah terkenal sebagai pribadi yang welas asih. Anak kecil yang dulunya dia asuh (dan akhirnya jadi guru saya di sekolah) juga menyayanginya dan seringkali bertanya kabar Embah.


“Embah… matur nuwun nggih! Untuk semua kasih sayang dalam kesederhanaan yang sudah Embah berikan. Terima kasih sudah mengisi penuh tangki di hatiku dengan kasih sayang saat aku kecil. Terima kasih sudah menjadi teladanku”, kataku dalam hati sambil menangis sesenggukan. Semoga Embah mendapat tempat terbaik di sisi Allah bersama orang-orang kesayanganNya. Amin.




Posting Komentar