Rabu, 07 Juni 2023

Apa Untungnya Menjadi Relawan?



Di satu perjalanan ke lokasi mengajar, ada obrolan dengan sopir taksi online yang akhirnya membantu saya memahami tentang apa untungnya saya wara-wiri Pasar Minggu - Pluit setiap weekend selama kurang lebih 6 bulan belakangan.


"Lihat mbak, orang-orang yang ngamen di lampu merah! orang-orang itu belum tentu lho enggak nyaman dengan hidupnya. Boleh jadi memang itu pilihan mereka, ya nyaman aja menjalani hidup begitu. Enggak semua orang mau bekerja keras. Jadi kadang kalo ada orang lain yang coba ngelakuin sesuatu buat mereka, misalnya bantu atau nyumbang apa gitu, jadi agak.. gimana ya.. enggak merubah mereka sih, emang mereka maunya hidup begitu kok. Tapi.. ini wong embak mau nyumbang aja kok yaa.. ya gak apa-apa sih.."


Ada jeda cukup lama sampai akhirnya saya merespon, "emmm... iya pak... hehe", sambil ketawa canggung. Ini Bapaknya lagi mengkritisi saya atau gimana ya? Sebelumnya bapaknya bertanya tentang souvenir yang saya bawa, apa yang saya lakukan di lokasi mengajar, yayasan yang menaungi aktivitas sosial ini, dan tentang anak-anak yang belajar disana. Sejujurnya, kata-kata Bapaknya melukai saya. Saya langsung demotivasi (lemah banget, hehe) dan berpikir apa iya waktu yang saya sumbangkan tidak berarti? Hati saya tidak setuju, walaupun saya jadinya tidak terlalu yakin juga. Saya akhirnya tidak membalas Bapaknya karena sibuk bergumul dalam hati tentang makna kegiatan volunteering yang saya lakukan belakangan ini.



Setelah hari itu, saya off dari kelas mengajar sekitar dua minggu karena kesibukan. Sampai akhirnya saya mengajar kembali di minggu berikutnya. Anak-anak berteriak "ingat doooong!" sambil tertawa riang saat saya menanyakan apakah mereka masih mengingat saya. Beberapa dari mereka bahkan menghampiri dan bertanya apakah saya yang akan mengajar di kelas mereka hari ini. Mereka serempak bilang, “yaaah…”, begitu saya menggelengkan kepala. Saya terharu! Baru dua minggu berlalu, tapi saya sudah takut dilupakan.  Mereka sungguh membuat saya merasa seperti seseorang yang dinantikan. Sungguh perasaan haru yang menyenangkan. Hal itu membuat saya berpikir lagi, jadi semua ini tentang saya ya, bukan tentang mereka? Ternyata saya ya yang pengen dinantikan? Ternyata saya ya yang butuh perasaan haru menyenangkan itu?


Saya sebenarnya ikut kegiatan volunteering apa sih? Adik-adik yang saya ceritakan tadi adalah “murid” dari sebuah organisasi sosial bernama Inspiration Factory (IF). Visinya sudah jelas dari namanya ya, menginsipirasi. Siapa yang harus diinspirasi dan kenapa? Orang-orang baik di organisasi ini ingin menginspirasi anak-anak marjinal untuk bermimpi besar, menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Mereka dan saya percaya, semua anak bisa dan boleh memimpikan hal-hal di luar jangkauan mereka meski tidak punya privilege untuk belajar tentang pengembangan diri dari orang tua, guru, atau orang di sekitarnya, maupun mengakses informasi yang bisa jadi sumber inspirasi mereka. Kenapa sekedar googling aja kok jadi privilege sih? Saya juga baru tahu tidak semua orang bisa beli pulsa internet semudah saya yang tinggal gerakin jempol, selama ada duitnya di rekening.



Pertanyaannya, memangnya inspirasi bisa se-powerful itu ya? Memangnya hidup anak-anak itu bakal berubah nanti? Saya memikirkan kata-kata pak Tax-ol itu berminggu-minggu. Lalu saya ingat sebuah cerita seorang teman, yang saya panggil “kakak”, dan anak-anak asuhnya. Dia mengasuh beberapa anak marjinal, dari usia SD sampai SMA, tanpa organisasi. Artinya, hampir semua hal kakak lakukan sendiri. Di awal kakak bertemu mereka, cita-cita mereka hanya sebatas bekerja di Bar dekat lingkungan mereka, jadi penyanyi di karaoke, atau kurir pengantar miras untuk Bar itu. Kenapa? Karena mereka hanya melihat lingkungan itu setiap harinya, jadi mungkin agak sulit bagi mereka membayangkan cita-cita yang lebih besar dari itu. Long story short, anak kakak yang SMA sekarang kuliah di Kyoto, Jepang. Anak-anak yang lainnya tumbuh menjadi anak yang well-mannered, humanis, dan dewasa secara emosional. 


Saya sadar mungkin ceritanya tidak selalu sesempurna cerita anak-anak kakak, karena itu pasti berkat perjuangan yang luar biasa juga. Tapi intinya, selalu ada harapan anak-anak itu akan mengingat kebaikan yang kita berikan, entah akan mereka kembangkan saat besar nanti atau hanya akan mereka pakai sehari-hari tanpa sadar. Suatu waktu saya bertemu orang tua anak-anak IF, seperti pertemuan wali murid ala-ala begitulah. Sedikit curcol, sebenarnya saya nervous setengah mati. Bagaimana tidak, menjadi orang tua saja belum pernah, hihi.. Balik ke laptop, salah seorang orang tua cerita kalau anaknya sekarang bisa menceritakan perasaannya, mengekpresikan emosinya setelah rajin datang ke kelas IF. Keterbukaan itu membantu komunikasinya dengan si anak, jadi lebih saling perhatian dan pengertian. Di lain waktu, seorang anak yang sebentar lagi lulus SMA bercerita ke saya, kalo dia ingin menjadi seorang Designer pakaian. Dia menunjukkan gambarnya ke saya, ya Allah baguuus! Dia sangat semangat bercerita kalo desainnya itu sudah dia buat di sekolah dan dipamerkan.



Dari minggu ke minggu selalu ada saja cerita baru yang saya dengar, misalnya “Kak, aku seneng banget deh! Kemarin aku jalan-jalan sama Bapak trus beli eskrim mixue.” Lalu di lain hari, “Kak, aku tu selalu dimarahin sama guru karena tulisan tegak bersambungku jelek, abis itu pulang ke rumah masih dimarahin lagi sama orang tua”. Anak yang cerita ini memang terlihat selalu murung dan seperti memendam sesuatu. Saya merasa sangat bersyukur mereka mau bercerita ke saya. Mereka membuat saya sadar bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal yang sangat kecil dan sederhana. Saya kadang juga merasa sedang menasehati diri sendiri tiap kali saya memberitahu mereka untuk tidak bersedih terlalu lama, bahwa mereka bisa cerita ke teman atau ke saya untuk meringankan beban di hati. Karena berdasarkan pengalaman saya, kesedihan yang dipendam sejak saat kecil itu long-lasting.



Kesimpulan saya, kegiatan volunteering yang saya lakukan ternyata tidak semata-mata untuk mereka, tetapi juga untuk saya. Menyadari bahwa saya sudah memberikan manfaat walaupun sedikit, walaupun hanya sekedar mendengarkan cerita mereka, membuat saya merasa ada gunanya. Saya jadi lebih relate ke peribahasa, "urip iku urup". Influence saya mungkin tidak se-masif Selebgram, atau siapa kek yang femes, hehe.. tapi setidaknya saya bisa menceritakan apa yang saya tahu dan sharing akan membuat saya lebih mengingat ilmunya. Lalu tentang pertanyaan besar Bapak Tax-ol tadi, apakah kebaikan itu lantas akan mengubah hidup mereka suatu saat nanti? Honestly, siapa pun tidak bisa menjamin itu, bahkan untuk orang yang punya privilege sekalipun. Tapi satu hal yang pasti, tidak seharusnya suudzon menghalangi niat baik. Saya yakin, kebaikan besar maupun kecil akan selalu berbekas, bagi yang menerima maupun yang memberi. Kindness is never wasted. Siapa sangka volunteering bisa jadi healing!? Terima kasih adik-adik IF!



Posting Komentar