“Kenapa enggak bilang sih kalo ke pergi ke Kamboja sendirian?” kata Justin setengah mutung. Saya enggak tau persis kenapa Justin mutung gitu, mungkin karena sikap saya yang sok misterius enggak mau kasih tau teman-teman tentang rencana pergi ke Kamboja. Hehe. Saya memang pergi diam-diam waktu itu, tanpa mengabari orang tua, sahabat, atau pun teman-teman kantor. Saya tidak berencana kabur trus jadi TKW gitu sih, tapi saya lagi pengen men-challenge diri sendiri. Kenapa pula saya ini kan, rempong banget hidupnya. Haha. Kalian sudah baca cerita nekat saya ke UK kan gaes? Saya merencanakan trip Kamboja ini sebenarnya karena sadar diri kalo saya masih amatir, jadi saya ingin melatih insting bertahan hidup sebelum pergi ke UK. Sedikit kisah tentang trip saya ke UK sudah saya posting sebelumnya, kalo belum baca cekidot disini yha gaes! Trus, kenapa Kamboja? Menurut saya infrastruktur penunjang pariwisata disana belum terlalu bagus dan terintegrasi saat itu (2018), jadi pasti banyak challenge-nya. Kenapa diem-diem? Karena saya tidak mau tambah khawatir dengan mendengarkan kekhawatiran orang lain. Deg-degan saya tuh!
Insiden Lampu Sein Pesawat yang Mati dan Embrace Uncertainty.
Sebagai Airport Runner sejati, saya menjaga rekor saya dengan konsisten datang mepet sebelum penerbangan. Termasuk di hari keberangkatan ke Kamboja saat itu. Saya mengambil rute paling ekonomis, CGK-KUL-PNH untuk rute pergi dan REP-KUL-CGK untuk rute pulang, dengan Airlines yang berbeda-beda. Hari itu saya berlarian di Bandara dan mata saya sibuk mencari check in counter KLM dimana. Saya mengikuti feeling saya yang sebenarnya sudah buyar karena khawatir ketinggalan pesawat. Saya panik setengah mati karena saya kok tidak juga melihat tulisan KLM setelah berlari cukup lama. Dan setelah bertanya ke Petugas, saya akhirnya tahu kalo saya berlari ke arah yang salah. Yassalaaam…
Dengan sisa-sisa tenaga saya yang habis karena berlari sambil menggendong carrier, akhirnya saya sampai di counter-nya KLM. Antriannya panjang sekali, sepertinya pesawat ke KUL hari itu penuh. Saya masuk ke antrian sambil melatih nafas untuk menenangkan diri. Inhale~ Exhale~. Belum juga selesai latihan nafas, saya tiba-tiba mendengar teriakan kesal dari orang yang ada di antrian depan. Eh, ada apa? Dan dari bisik-bisik tetangga, saya tahu kalo penerbangan hari itu bermasalah. WAH! GIMANA NASIB SAYA? Teriak saya dalam hati. Saya sudah booking penerbangan selanjutnya dari Malaysia ke Pnom Penh, booking hotel, termasuk transportasi darat dari Phnom Penh ke Siem Reap, dan semuanya SUDAH DIBAYAR! Orang di antrian depan juga meneriakkan hal yang kurang lebih sama, tapi saya juga pengen dong menumpahkan kekesalan saya dengan ikut teriak atau setidaknya mengomel.
Sesaat sebelum saya ngomong, saya keduluan sama mbak-mbak di belakang saya yang bilang gini, “Kasian Petugas counter-nya ya.. Dia pasti juga tidak tahu banyak (soal teknis permasahalan pesawat dan mau diapakan penumpang yang bejibun ini). Dia pasti cuma bisa nunggu trus nyampein instruksi seperti yang disuruh atasannya.” Saya otomatis nengok, takjub! Siapa gerangan orang ini, gimana bisa dia sepositif itu di tengah kondisi ricuh karena orang-orang yang saling bersahut-sahutan pamer kekesalan. “Sebentar ya aku cari tau ke depan”, katanya ke mbak-mbak disampingnya. Tidak lama dia balik dan membawa berita kalo lampu “sein” pesawat sebelah kiri mati. Dan karena alasan keselamatan, pesawat yang saat itu sudah mendarat di Phuket tidak akan meneruskan perjalanan ke Jakarta dan langsung balik ke Amsterdam. Sedih sekali ya Allah!
Saya mulai ngobrol dan curcol ke mbak-mbak tadi, yang belakangan saya tau namanya kak Ibet dan Evelyn, karena merasa senasib. Kak Ibet tidak terlihat frustasi dan cukup tenang dengan kejadian ini, lalu mengajak saya menepi ke dinding supaya bisa meletakkan tas. “Yasudah, ini kan di luar kendali kita. Daripada grusa-grusu kita ikuti aja, trus mikirin next-nya mau gimana setelah bebersih dan makan di hotel.” Akhirnya saya—dengan setengah lemas—mengikuti mereka ke hotel yang disiapkan Airlines. Capek sekali ya Allah, fisik dan mental. Setelah bebersih, makan, dan ngobrol-ngobrol sama mereka, saya akhirnya memutuskan untuk booking tiket pesawat paling pagi dari Kuala Lumpur ke Siem Reap yang berangkat lusa, tidak mampir Phnom Penh. Hati saya perlahan mulai bisa mengikhlaskan semua perubahan yang mendadak itu berkat kak Ibet. Ketenangan dan sikap legowo kak Ibet sangat membantu saya move on.
Siap-siap take off subuh-subuh dari KLIA 2. |
Taksi Bandara atau Tuk-tuk Online?
Sunrise di atas Kamboja, penghibur hati setelah turbulence beruntun. |
Saya tidak sangka bandara Siem Reap bagus, saya kira seperti A. Yani Semarang sebelum renovasi. Ngece banget, Hehe. Saya excited tapi nervous memikirkan nasib saya setelah keluar Bandara. Excited karena membayangkan bisa sepedaan ke Angkor Wat, nervous karena mikirin apakah akan ada surprise seperti sebelumnya. Kalo ada apa-apa, siapa yang harus saya kabarin? saya sibuk berpikir sampai akhirnya disadarkan oleh suara petugas yang tidak terlalu ramah. Saya juga jadi inget kalo harus beli paket internet dulu, “koentji” dari solo trip ini. Karena ini solo travelling pertama saya, semua terasa baru dan buat saya deg-degan setiap mau melakukan sesuatu termasuk saat mau beli paket internet. Hahaha. Setelah mondar-mandir karena merasa ciut dengan pedagang pulsa yang sangar, saya berhasil beli paket internet juga. Mission accomplished! Next…
Bandara Siem Reap |
Setelah melihat pedagang pulsa yang sangar, saya merasa tidak akan sanggup debat dan tawar-menawar harga dengan supir taksi. Saya sebenarnya sudah download aplikasi namanya PassApp untuk naik tuk-tuk online sih, tapi ragu mau pakai karena rating di app store-nya rendah. Abang tuk-tuknya amanah enggak ya? pikir saya. Tapi dari pada head to head sama supir yang sangar dan dapat harga tidak wajar, mending saya pilih yang harganya pasti saja. Toh dua-dua nya ada risiko tidak amanah. Saya suudzon mulu saat itu, maksudnya biar bisa siap-siap antisipasi kejadian terburuk.
Klunting! Ada chat dari Driver tuk-tuk yang isinya nanya saya dimana.
“Saya tidak bisa jemput kamu di dalam ya, nanti ricuh sama supir taksi dan tuk-tuk yang mangkal.”
“Tapi saya tidak tau harus kemana, gimana dong?”, balas saya.
“Hmm, yaudah saya masuk ke dalam. Tapi nanti saya di parkiran ya, nanti kamu jalan sedikit ke parkiran ya!”, balasnya lagi.
“Gimana caranya aku mengenali kamu?”, kata saya. Di aplikasi tidak ada fotonya.
“Saya akan coba menemukanmu”, katanya meyakinkan. Ciyeeee~
BAH! Sama aja kayak di Surabaya. Kalo mau naik ojol harus kucing-kucingan dulu. Tapi bagi saya ini lebih seram karena posisi saya sebagai orang asing—walaupun muka, kulit, hidung kami sama bentukannya. Saya mengikuti saran si Driver dan jalan ke arah parkiran. Di kejauhan ada seorang mas-mas paruh baya seumuran senior saya di Kantor (a.k.a mas Mukti, wkwk) berdiri gelisah sambil kasih kode melambai tapi enggak niat. Wah, melihat gelagatnya itu, kayaknya kalo ketahuan supir lain bakal gawat beneran. Saya ikut deg-degan. Kami saling mengkonfirmasi lewat sarana chat di PassApp—yang otomatis di-translate. Lalu dengan sikap sewajar mungkin kami naik tuk-tuk dan keluar area Bandara. Pas udah keluar, saya nengok lagi ke belakang kali aja ada yang ngejar kan, parno banget! Hahaha. Tapi alhamdulillah, aman. Wohoo~ menengangkan sekali bestie~.
Sepeda Butut dan Sendi-Sendi yang Lemas.
Sepanjang perjalanan naik tuk-tuk saya takjub! Lho, pemandangan ini kok kayak di desa saya ya… hahaha. Ada lahan luas dengan tanah berwarna kuning gading dan pohon-pohon siwalan di kejauhan. Walah, berasa mudik jadinya. Wkwk. Perjalanan dengan tuk-tuk online lancar dan kami tidak saling ngomong selama perjalanan, lha mau gimana sama-sama enggak paham, hahaha. Alhamdulillah mas nya amanah, mengantarkan saya sampai depan pagar hostel dan tidak meminta tip. Saya jadi simpati dan mendoakan yang baik-baik.
Sampai di hostel, gambaran saya tentang orang sana yang hospitality-nya kurang mulai berubah karena Host-nya ramah sekali. Nanya-nanya dari mana, sudah pernah kesini belum, cerita pernah ke Bali, blablabla.. lalu kami jadi bestie, enggak ding. hehe. Karena keramah-tamahan si Host itu, saya akhirnya memutuskan untuk menyewa sepeda lewat bantuan Hostel. Praktis, dan karena saya juga harus segera ke counter tiket untuk membeli Angkor Pass supaya bisa kesana besok paginya. Sefruit informasi, counter tiket Angkor Wat itu tidak didepan candinya persis gaes, tidak seperti Borobudur atau Prambanan gitu. Mungkin karena kompleks candinya luas banget—Angkor Wat hanya salah satu dari banyak kompleks candi. Jadi, kalo mau datang pagi ke Angkor-nya, beli tiketnya H-1. Harga tiketnya bervariasi sesuai masa berlakunya, 1/3/7 day pass. Saya beli yang 1 day pass seharga +/- 500 ribu.. khu..khu..khu.. mihil.
Tiketnya ada foto kitanya dan ambil fotonya pas didepan konter tiket. |
Entah kenapa sejak awal bikin itinerary saya kepingin sekali sepedaan ke Angkor. Dari yang saya baca, geografis daerah Siem Reap juga ramah untuk Pesepeda, jadilah saya niatkan untuk sepedaan tidak hanya ke Angkor tapi selama stay di Siem Reap. Rencana indah yang belakangan lumayan saya sesali. Sore itu si Host mengabari kalo sepeda yang saya sewa sudah siap. Wah! Saya excited sekali dongs dan siap menjelajah kota dengan sepeda, keren sekali! Tapi rupanya itu hanya bayangan saya aja karena pas keluar melihat sepedanya.. ya ampun, ini sepeda kok butut banget kek yang disewain di Ragunan. Jangan-jangan ini sepeda pribadinya si Host atau pegawai Hostel. Kalo pun begitu, mbok ya yang bagus toh mbak.. mbak.. Tapi karena waktu saya terbatas dan takut counter-nya kebutu tutup, saya akhirnya pakai dulu si sepeda butut buat PSS—Pedahan Sore-Sore, hehe.
Saya bergegas mengayuh pedal setelah adjust gear dan ngecek rem. Sampai sebelum keluar gang hostel, saya masih yakin kalo orang lokal akan banyak bersepeda di jalanan, ternyata.. tidak! Mereka kebanyakan naik motor, dan saya kelihatan anti mainstream sekali sepedaan di jalan raya, di suhu yang bisa kali bikin air panas tanpa nge-rebus. Sepertinya jalan-jalan naik sepeda itu idenya bule-bule saja yang nyari panas. Saat berhenti di lampu merah, diantara mobil dan motor, orang-orang liatin saya. Malu sih, dikit.. tapi karena saya turis ya saya pede aja. Dan buat menegarkan diri, saya bilang ke diri sendiri, “ini latihan survival Firda, pede aja!”, dan berhasil juga sih. Namanya juga kepepet. Hahaha.
Angkor pass berhasil saya beli last minute sebelum counter tutup dan saya sempet mampir ke kota untuk beli snack dan buah. Buah dan salad Supermarket adalah andalan saya setiap kali malas nyari resto halal. Kadang, saya juga beli sayuran lengkap dan masak kalo di Hostel ada dapurnya. Saya masuk ke Supermarket dengan bersimbah keringat karena sumpah demi apa pun, Siem Reap PANAS BAT YA ALLAH! Saya berdoa semoga orang di dalam tidak terganggu karena mencium bau keringat saya, karena saya ngadem di bawah AC, wkwk. Syungguh tidak tahu diri. Ada momen saat saya bertanya ke mbak-mbak pegawai Supermarket dan dia nyuekin saya. Apa karena saya bau kecut yah? *cium ketek kanan kiri. Oh, tenyata bukan karena saya bau kecut, tapi dia lebih memilih merespon bule cowok di sebelah saya. Huh, dasar! Tapi saya pikir-pikir wajar aja sih, karena saya pasti kelihatan buluk banget. “Orang kampung mane nih?”, mungkin dia mbatin gitu.
Saat mencari rute balik ke Hostel di maps, saya melihat tempat persewaan sepeda yang saya marked saat bikin itinerary. Saya iseng-iseng cek, dan tenyata sepedanya bagus-bagus dong. Syiaauul mbak Hostel nih! Saya coba minta ganti sepeda sesampainya saya di Hostel, tapi katanya tidak ada alternatif jika sepedanya mau dipakai subuh besok. Kalo mau cancel sayang, dan tidak sempat ke persewaan lagi karena sudah malam. Akhirnya saya menyerah dan percaya sepeda butut ini bisa saya andalkan untuk perjalanan ke Angkor Wat besok pagi-pagi buta.
Kurang lebih begini lah scene yang diburu para fotografer dan turis, tapi dengan langit yang pink memesona. Google aja kalo mau lihat yang bagusnya ya gaes, wkwk. |
Menurut para Travellers, best time to visit Angkor Wat itu adalah pagi hari supaya kamu bisa melihat sunrise yang indah, yaitu momen saat matahari menyembul dari belakang candi di Angkor Wat dan membuat langit berwarna pink-peach. Itulah alasan saya berangkat subuh dan berpikir kalo menyewa transportasi sendiri akan lebih fleksibel. Tapi kenapa sepeda sih? mungkin kalian masih tidak habis pikir. Yha, karena saya cuma bisa naik sepeda, wkwk. Sebenarnya ada sih persewaan tuk-tuk gitu, tapi mahal euy buat saya saat itu. Sekitar 40 USD satu hari untuk keliling Angkor termasuk antar jemput ke Hostel. Eh, tarifnya USD? Iya, di Kamboja (saya taunya di kawasan wisata ya) ada 2 mata uang utama yang dipakai transaksi, Riel dan USD.
Jarak antara Hostel dan kompleks Angkor sekitar 18 menit dengan mobil/motor, dan dari kalkulasi bodoh saya, saya akan butuh waktu segituan juga lah kalo naik sepeda. Alhasil saya berangkat agak siang sekitar jam 6. Saya excited karena udara pagi itu cukup sejuk, juga karena belum menyadari kemalangan yang akan menimpa saya hari itu. Haha. Kota masih sepi dan tidak ada mata-mata yg menatap keheranan seperti kemarin. Lega. Saya keluar dari pusat kota dengan mulus dan sampai di jalur ke Angkor Wat. Wah! Jalur kanan kiri saya penuh pepohonan! Ashique nih, enggak panas seperti kemarin. Saya keasikan bersepeda dan tidak sadar kalo ternyata saya sendirian di jalur itu, hanya ada satu mobil yang lewat sesekali.
Saya cek maps—siapa tahu saya salah mengambil rute kan—dan panik karena ternyata saya sudah bersepeda 30 menitan tapi saya belum sampai. Waduh gimana ini mataharinya udah mau terbit! Wkwk. Feeling saya jalurnya benar tapi kenapa tidak ada orang yg melintas? Kalo memang ini waktu favorit untuk ke Angkor kenapa tidak ada tuk-tuk yg wara-wiri? Kenapa juga tidak ada tanda-tanda orang yang jual oleh-oleh? Kaki saya juga sudah mulai lemas dan tidak bisa mengayuh sepeda butut ini lebih cepat. Kalo ada “bajing loncat” gimana? Saya teriak minta tolong pun tidak akan ada gunanya karena tidak ada orang. Saya blank, dan mau nangis. Wkwk. Karena tidak tahu mau ngapain lagi saya nenangin diri sendiri, “Firda, ini survival! Your trip your adventure!—kek acara tipi aje. Kalo pun mau nangis, nangisnya sambil ngayuh sepeda.” Hahaha.
Bersambung di part 2 ya gaes~
Sepatu butut dan kaki lelah saya setelah sepedahan enggak tau berapa lama, tapi alhamdulillah sampai juga. |
lho ditunggu part 2 nyaa, penasaran baliknya nyepeda panasan
BalasHapusbhaique~ aduh baek banget kamu udah mampir. Mampir 10 kali berturut-turut nanti dapet kupon nasi padang lho bestie! Ayoo semangat! xixi
HapusAku baru ngeh banget kamu ketemu Kak Ibet tuh pas mau terbang ke Kamboja toh, hahaha. Kalian kok gak bareng aja di sana? Eh your trip your adventure ding temanya. Btw aku merasa dari sejak berangkat sampe kamu salah jalan ini, isinya panik attack semua. Sampe ngosngosan aku bacanya. Plus makin ngosngosan bayangin kamu pedahan sih. Aku naik tuktuk aja ngosngosan kepanasan, sampe ganti baju pun aku di tuktuk tebar aurat. Ini pedahan. Pedah butut pula. Kecian.
BalasHapusiya, ini awal ketemu kak Ibet. Kak Ibet waktu itu mau ke Penang, mau survei buat agenda trip anak-anaknya.
HapusKarena judulnya drama jadi aku terlalu fokus kayaknya sama kesialan-kesialan yang aku alamin. Hahaha. Tapi serius, pas waktu ke Kamboja itu hawanya emang waspada dan deg-degan gitu, sibuk bgt aku arrange kegiatan per kegiatan. Nervous! hehe. Tapi, anehnya itu malah jadi healing buat aku tin.. kayak refresh gitu, ngasih kesempatan pikiran dan tubuh aku buat mikirin dan ngerasain hal lain, hal-hal baru.. mungkin itu yang bikin solo travelling itu candu.
Pedahan itu emang enggak banget sih! Hahaha. emang tuk-tuknya ada tutupnya tin?
Gak ada. Dia kayak gerobaknya delman. Tapi aku gak kuat baju ku bau banget, harus ganti biar berasa seger wakakakak.
Hapus