Senin, 02 Mei 2022 Cotswolds, UK

Pertama Kali Travelling Jauh Sekali dari Rumah, Main ke Pedesaan Inggris Sama Orang yang Baru Ketemu!



Sudah nonton Bridgerton season 2 gaes? Kalau sebelumnya kita dibuat geregetan sama kisahnya Simon dan Daphne sampai tidak sabar nunggu season barunya, kisah Anthony Bridgerton di season 2 ini aduhai sedih syekali. Mungkin karena saya anak pertama, jadi berasa relate gitu, cocoklogi. Hehe. Jadi, cerita kali ini soal Bridgerton? Ooo, tentu tidaaak. Saya yakin kalian sudah langganan Netflix semua. Setelah nonton Bridgerton, saya jadi tahu beberapa film Inggris yang latar kisahnya di Regency-Edwardian Era seperti Downtown Abbey, The English Game. Dan hal yang paling membuat saya excited adalah, ketika saya sepertinya mengenali beberapa tempat yang jadi lokasi syuting film itu. Maapkan yha kalo saya norak. Tidak saya pungkiri, saya bahagia bisa bernostalgia. Hehe. Rasanya seperti saat kamu dan temanmu saling bercerita tentang masa kecil dan tempat-tempat yang penuh dengan kenangan kalian. Seru, haru, rindu! dan sesaat pengen mengulang masa-masa itu. Saya rindu kota Bath & Cotswolds sebesar itu, padahal kota itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa kecil saya. Saya juga merasa aneh kenapa rasanya seperti itu, jangan-jangan jodoh saya ada disana? Colin Bridgerton?? Wkwk. Bhaiklah, saya sudahi saja daripada kalian muak dan enggak mau nerusin baca.

Kalo kalian punya kesempatan travelling ke Inggris, kalian bakal kemana sih gaes? London? So pasti! Banyak landmark Inggris di London. Kalian tidak perlu susah-susah menjelaskan ke orang, cukup foto di depan Big Ben aja orang langsung paham. Trus, kemana lagi? Manchester? Liverpool? Foto di depan stadion sebagai bukti fans bola sejati? Yha kemana pun itu, semoga kesampaian ya nanti buat kamu yg punya mimpi kesana. Amiiin. Saya dulu tidak berani bermimpi seperti itu. Jangankan London, Jakarta itu, bagi saya dan keluarga besar, adalah tempat yang jauuuh banget dari rumah. Sampai sebelum kuliah, pergi ke kota yang jaraknya sekitar 15 menit saja dari rumah, saya pasti ditemani. Lalu akhirnya saya mulai terbiasa jauh dari rumah karena harus merantau sekolah dan cari nafkah. “Ah, Jakarta mah deket. Mak cluuut! Naik pesawat sejam doang sampe!”, kata Ibu saya dengan pedenya ke Mbah, padahal doi sendiri enggak pernah naik pesawat karena takut. Definisi Ibu saya tentang “jauh” mulai berubah sejak saya merantau.

Walaupun sudah pede merantau di Jakarta, saat itu saya masih tidak berani lah travelling ke Luar Negeri. Enggak kebayang! enggak punya duit juga sih. Haha. Sampai akhirnya saya kenal dan cukup akrab sama pasangan enerjik yang suka backpacker-an ke Luar Negeri, Mas Gepeng & Justin. Justin suka banget cerita tiap mereka pulang dari travelling. Kalian bisa baca petualangan mereka disini. Dan setelah melihat mereka pulang dari Inggris dalam kondisi utuh, trus dengar cerita-cerita seru mereka disana, saya jadi percaya diri kalo saya pasti bisa kesana juga nanti. Dan Semesta mendukung kenekatan saya saat itu.

Everything starts with one step, or one brick, or one word, or one day…

dan saya memulai langkah nekat pertama saya dengan beli tiket PP Jakarta-London. Bayarnya nyicil ke teman saya yang baik hati. Makasih Rizal, saya yakin kamu pasti tidak kenal saya kalo papasan. Iya! Rizal dan saya tidak pernah ketemu langsung tapi saya ngutang ke dia. Hahaha. Walaupun sudah punya tiket ke Inggris, saya sejujurnya belum tahu mau pergi kemana saja nantinya. Saya beli tiket bukan karena saya sudah punya rencana, tapi sok-sok-an saja biar tidak ada alasan untuk tidak jadi pergi. Hehe. Saya enggak muluk-muluk. Pokoknya bisa mendarat, keliling kota London, lalu balik lagi ke Jakarta itu sudah keren menurut saya. Sampai akhirnya, saya bertemu dengan bule asal Inggris waktu saya es-pe-je-an ke Bali. 

Namanya Erika. Sebagai bule, kulitnya tidak terlalu putih. Wajahnya ayu dan ada siluet perempuan jawa yang anggun gitu. Dan benar saja, mamahnya orang Kudus atau Demak gitu, saya lupa-lupa ingat. Geng pantura ternyata! Haha. Saya tidak berani ngobrol banyak ke Erika karena saya terbata-bata kalo ngomong Inggris. Tapi karena saya cenderung gelisah kalo sedang bersama orang lain di ruang yang kecil seperti di mobil, jadi saya coba nanya beberapa hal ke Erika. “Erika, aku mau ke Inggris tahun depan, menurutmu aku harus kemana aja?”. Erika diam agak lama, lalu mention “Cotswolds?”. “Hah, Cots… apa?”. Erika mengulang kata itu 2 kali dan sejujurnya saya masih enggak nangkep Erika bilang apa. Hahaha. Erika mungkin melihat gerakan mata saya yang masih berharap dijelaskan, jadi dia buru-buru bilang, “It’s a quintessentially English Villages, Firda! People said it’s so~ English”. Hooo~, kata saya kagum walaupun enggak bisa membayangkan Cotswolds itu seperti apa. Hehe. Trip singkat bareng Erika itu membekas sekali di ingatan saya, apalagi waktu saya tahu kalo Erika ternyata paham Bahasa Indonesia. “Saya mudeng sedikit-sedikit obrolan kalian Firda, cuma kalo ngomong belum jago”. Siempree! Kenapa baru bilang setelah saya setengah mati berusaha ngomong inggris seharian. Hahaha.

Castle Comb
Castle Comb. Lokasi favorit untuk syuting film, misalnya Stardust.

Sampai di Jakarta, saya coba google desa Inggris itu dan wah! Erika keren banget bisa tahu selera saya. Rumah-rumah dari batu dengan warna coklat krem itu indaaah banget, seperti movie set-nya drama/film eropa jaman dulu. Saking sukanya, saya mulai pasang foto Cotswold itu jadi wallpaper komputer saya di kantor, biar jadi doa juga gitu. Desa ini favoritnya pangeran Charles, juga beberapa selebriti dan orang terkenal seperti Kate Winslet, JK Rowling. Bahkan beberapa ada yang punya properti disana. Saya jadi ingat, dulu saya google tempat ini minimal seminggu sekali selama beberapa bulan. Bukannya terlalu bersemangat, tapi karena minimnya info tentang bagaimana caranya berkunjung ke desa itu selain roadtrip. Dari beberapa blog Traveller yang saya baca, mereka ke Cotswolds-nya roadtrip. Saya mau roadtrip gimana yekan, nyetir mobil aja enggak bisa, sendiri pulak. Karena tidak ada progres, saya berhenti googling dan akhirnya lupa. Trus enggak jadi pergi kesana? Jadi dong, judul di atas itu bukan clickbait doang kok. Apasih garing, wkwk.

Satu-dua bulan sebelum keberangkatan, saya kerja keras lagi bikin itinerary karena sekarang tujuan saya ke Inggris bukan lagi London, tapi Cotswolds. Saya jadi rajin banget baca blog, panduan wisata, review di Tripadvisor sebelum tidur, padahal saya tidak pernah serajin ini bahkan saat mau ujian. Untungnya saya rajin, akhirnya saya nemuin satu review Traveller yang cerita kalo dia pakai jasa Mad Max Tours. Satu doang gaes dan ada link-nya! Tanpa ba-bi-bu saya langsung pesan tour-nya dari Indonesia dan biayanya 1 juta, huhu. Karena tidak ada pilihan, yaudah saya gass aja. Semesta mendukung, pikir saya saat itu. Kalo dipikir-pikir sekarang, saya nekat juga ya.. kalo tour-nya palsu gimana coba?

Dari cerita di atas, mungkin kalian ada yang noticed, “ini kan desa ya, kok harus roadtrip? Emang desanya seluas apa?”. Cotswolds itu kawasan gaes, termasuk salah satu AONB (Area of Outstanding Natural Beauty) di Inggris. Keren ya namanya, menjanjikan banget gitu. Ada beberapa desa cantik di kawasan itu, dan itulah kenapa roadtrip adalah pilihan paling ideal untuk trip disini. Kalo nyetir sendiri, kamu tidak harus memaksakan wara-wiri dari satu desa ke desa lainnya dalam 1 hari. Kamu bisa menginap di desa, mencoba bagaimana rasanya nge-teh sore di gazebo yang ada di tengah halaman luas seperti bangsawan Inggris jaman dulu. Sayangnya saya tidak bisa waktu itu, karena saya ikut one day tour.  Desa-desa yang masuk list Mad Max untuk dikunjungi dalam sehari adalah Castle Comb, Birbury & Arlington Row, Bourton-on-the-Water, Stow-on-the-Wold, dan Malmesbury Abbey & Market Cross. Tour-nya dimulai dari kota Bath. Bath? Kota Mandi? Iya! Tidak ada makna lain dibalik nama kota itu. Kota ini terkenal dengan pemandian air panas alami—seperti Ciater gitu—dengan bangunan bergaya arsitektur Georgian. Kayak gimana itu? Mon maap saya bukan ahlinya jadi tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Pokonya indah aja kayak istana. Hehe. Saya kurang meng-explore Bath saat itu, karena bagi saya Bath lebih seperti kota transit. Tapi anehnya kenangan di Bath membekas cukup lama di ingatan saya.

Saya ke Bath naik bis atau coach kalo di Inggris, dari London Victoria Coach Station. Sebelumnya saya sudah ke Edinburgh dan baru sampai di London lagi sekitar jam 8 pagi, sedangkan bis saya ke Bath berangkat sekitar jam 10 di hari yang sama. Gila memang saya! Enggak mau rugi banget, hahaha. Saya berjalan setengah ngantuk dan terhuyung menggendong carrier yang lebih tinggi dari kepala saya. Lalu tiba-tiba ada yang nyapa, “Assalamualaikum Sister! Kamu dari mana?”, kata mas-mas kru bis yang berwajah Timur Tengah. “Waalaikumsalam.. Edinburgh..”, kata saya dengan lirih antara ngantuk dan ragu-ragu. Kamu tau kan gaes reputasi terminal di negeri kita tercinta ini, jadi pas disapa gitu saya jadi waspada. Saya pikir di Inggris gitu juga. Setelah saya cukup sadar dengan situasi sekitar, ternyata maksud kru tadi tidak seperti yang saya bayangkan. Dia hanya tulus menyapa saja karena melihat saya berhijab. Dia juga bertanya saya mau kemana selanjutnya. Saya jawab mau ke Bath dan dia bilang, “Oh, ya? Berati nanti driver-nya aku dong”, katanya sambil senyum. Lagi! Semesta mendukung saya lagi. Allah baik sekali, pikir saya.

Setelah 2 jam perjalanan dengan hati yang cukup tenang—karena driver-nya si Brother, saya sampai di Bath dengan selamat. Suhu di kota Bath hangat, entah karena posisi geografisnya, atau warna bangunannya yang krem pastel, atau karena orang-orangnya yang nampak ceria ngobrol siang di pinggir River Avon, atau… karena saya yang masih kedinginan habis dari Edinburgh. Saat itu suhu disana sekitar 18-20 derajat, sedangkan di Edinburgh sekitar 10-15 derajat padahal itu summer. Si Brother senyum lagi ke saya setelah mengambil carrier dari bagasi bis dan bilang, “Happy Holiday Sis! Welcome to Bath!”. Bahagia sekali rasanya bertemu orang baik di tempat asing. Walaupun hanya sekedar menyapa dan memberi bantuan kecil, tapi sikap “welcome”-nya bisa membuat hati saya “penuh”. Tunggu! Jadi tulisan kali ini tentang cerita cinta dengan kru bis di Bath? Bukan..bukan.. hahaha, walaupun menurut saya Bath adalah kota romantis yang cocok untuk kencan. Udaranya sejuk, jalan-jalannya indah, tidak ada hiruk pikuk, banyak taman di pinggir River Avon, juga cafe-cafe teras yang enak buat sekedar duduk melamun menikmati sekitar. Daaan, waktu malam sorot lampu berwarna temaram akan menghiasi jalanan. Kalo kamu beruntung, kamu bisa melihat bulan yang besar sekali. Saya beruntung bisa melihatnya saat itu. Biasanya kalo kita foto bulan di Indonesia pakai kamera HP, hasilnya akan terlihat seperti titik saja kan. Tapi kalo di Bath akan keliatan seperti bohlam lampu di ujung jalan. Kota Bath benar-benar memancing sisi romantis saya, tapi sayangnya saya sendirian saat itu. Huhu.

Castle Comb
Bath di malam hari dengan lampu temaram dan bulan yang besar. Foto diambil dari HP, maapkan resolusinya rendah.

Satu malam berlalu di Bath dan saya bersiap-siap berangkat ke titik kumpul tour saya ke Cotswolds, di depan Hotel Abbey. Saya berangkat sekitar jam 07.30, 1 jam sebelum jadwal yang ditentukan. Saya rajin kalo lagi liburan gini dan ini berkat semangat enggak mau rugi. Hehehe. Kalo saya perhatikan sejak di Edinburgh, orang lokal mulai beraktivitas sekitar jam 9 ke atas, jadi pagi itu jalanan masih sangat sepi dan dingin. Saya jadi bisa lebih leluasa menikmati bangunan-bangunan indah di Bath sambil sarapan roti selai yang dikasih gratis oleh Hostel. Saya sampai di depan Hotel Abbey setelah jalan sekitar 10 menit dan tidak ada tanda-tanda rombongan tour. Sebenarnya sudah saya duga sih, karena saya datang pagi sekali. Saya jalan mondar-mandir supaya tidak kedinginan. Ekspektasi saya, orang tour-nya akan datang sekitar 15 menit sebelum jadwal, tapi ternyata tidak ada. Saya mulai cemas, tour-nya beneran enggak ya? Kalo ternyata tepu-tepu, saya harus apa? Saya sibuk bikin rencana cadangan di pikiran saya, sampai akhirnya saya teralihkan oleh anak kecil yang turun dari mobil dan berlari naik bus sekolah. Orang tuanya mengikuti di belakang sambil berlari kecil lalu menyapa gurunya dan titip pesan untuk menjaga anaknya. Saya tidak tahu kenapa, interaksi tulus itu “menghangatkan” hati saya.

Saya tidak tahu kapan persisnya mobil tour datang, tau-tau aja ada di belakang saya dan ada juga beberapa orang Asia ngerubutin bule yang memegang dua lembar kertas HVS. Berdasarkan penerawangan indera keenam saya, bule itu adalah tour guide saya dan orang-orang Asia di sekitarnya pasti rombongan saya. Siapa yang sangka saya tour-nya bareng orang-orang Asia, kami jadi seperti satu rombongan besar. Saya juga ikut-ikutan nimbrung, harap-harap cemas takut nama saya tidak ada di daftar. Sambil menunggu diabsen, saya meneliti mobil dan pakaian si Bule. Saya berusaha menyakinkan diri kalo ini bukan rombongan pekerja yang mau berangkat ke pabrik. Hehe. Akhirnya nama saya dipanggil dengan pelafalan yang tidak biasa. “Indonesia?”, kata saya, si Bule paham dan mempersilahkan naik mobil. Saya satu-satunya tamu dari Indonesia, jadi si Bule bisa dengan mudah memverifikasinya. Dari rombongan itulah saya ketemu teman baru dari Australia.

Teman baru itu namanya Ling. Ling kerja di Australia di bidang kesehatan. Cotswolds adalah salah satu “bucket list” liburannya di Inggris selama satu bulan. Satu bulan? Sebwah kenikmatan yang haqiqi~. Kalo saya punya kesempatan libur satu bulan, saya akan ke Patagonia. Hehe. Amiiin kenceng. Saya beruntung sekali bertemu Ling di tour itu karena Ling sepertinya sudah lebih banyak riset dan punya list beberapa tempat yang mau dia kunjungi di Cotswolds. Alhasil saya ngikutin dia seharian. Lumayan jadi ada yg bantu potoin juga. Hehe.

Berkat Ling, saya tau kalo di Cotswolds ada penginapan tertua di Inggris, “The Porch House”, yang sudah ada sejak 947 AD dan masih beroperasi sampai sekarang. Saya sempat lihat-lihat ke dalam, tapi tidak menginap. No money no hepeng gaes. Wkwk. Begitu masuk, saya langsung bisa merasakan nuansa jadulnya. Pintu dan langit-langit lobi penginapannya tidak terlalu tinggi, jadi jalannya harus agak bungkuk. Kalo saya saja membungkuk, bayangkan bule-bule yang jangkung itu. Saya tidak mengerti juga kenapa langit-langitnya rendah begitu, kan dari jaman dulu juga bule sudah jangkung-jangkung yah? Hmm… Secara umum fasad bangunannya dipertahankan sesuai versi jadulnya, tapi kamar-kamarnya sudah dimodernisasi. Dinding bangunannya dari batu warna kuning krem—seperti ciri khas bangunan di Cotswolds—yang nampak sangat tua. Konon katanya kalau membuat bangunan baru di Cotswolds, ada keharusan menggunakan jenis batu yang sama supaya matching sama tetangga. Dinding batu ini masih memberi kesan yang warm walaupun langit saat itu gloomy. Seakan-akan bisa menyimpan sinar matahari dan memendar sedikit-sedikit saat gelap.


Dindingnya kelihatan sangat tua kan? Kamu bisa nemuin witch marks juga enggak?

Setelah melewati lobi penginapan yang cukup sempit, saya melihat ada lorong kecil di sebelah kanan yang menuju ke arah Pub dan Restoran. Saya jalan lurus ke depan mengikuti Ling sambil mengagumi dinding batu yang saya lewati, belok kiri lalu kami sampai di ruang tengah dengan sofa jadul dan perapian. “Katanya ada simbol “witch marks” di perapian Firda, coba kamu lihat ada enggak?”, kata Ling. “Oooh…”, jawab saya polos karena “no clue” tentang tempat ini. Menarik sekali pikir saya, goresan sederhana orang di masa lalu bisa berarti untuk orang masa kini. Semoga saya dan kamu punya “goresan” yang berarti untuk orang di masa depan juga ya! Berat nih! Hahaha. Setelah puas melihat-lihat, saya dan Ling akhirnya duduk di meja dekat jendela restoran yang berhadapan dengan jalanan. Ada perapian dan foto-foto yang nampak kuno dipajang di dinding. Kalo tidak salah, saya juga membaca tulisan tentang keluarga kerajaan yang langganan kesini. Ling pesan bir dan menawari saya, tapi saya memberi isyarat dengan menunjuk hijab dan memesan cappucino. Kami nongkrong sore disana, saling bercerita tentang kesan jalan-jalan hari ini. Mimpi Ling adalah ke penginapan ini, sedangkan mimpi saya adalah melihat deretan rumah jadul di Birbury yang saya jadikan wallpaper komputer saya selama ini. “Aku pasti kesini lagi nanti Ling, disini terlalu indah. Jadi ingin punya rumah disini”. “Kamu pasti bisa Firda, kan kamu Bankir”, jawab Ling dengan sangat positif. Hahaha.

Suasana Pub & Resto yang jadul, tapi bersih dan tidak bau. Bikin betah.

Setelah menghabiskan minuman, kami jalan-jalan lagi sambil sesekali foto di depan rumah dengan bunga-bunga yang sedang mekar. Kalo kamu juga menonton Dowton Abbey gaes—pas adegan di depan rumah sakit atau di jalan desa—seperti itulah suasana yang saya rasakan saat itu. Rasanya nostalgic banget, saya membayangkan orang-orang di masa lalu wara-wiri di jalanan dengan baju-baju yang cantik kayak di Bridgerton. Lovely! Ling randomly masuk ke toko souvenir dan nunjuk postcard, “Ancient Elm Trees, Firda..”. Saya merasa tidak asing, tapi saya iyakan saja karena tidak tahu apa istimewanya pohon itu. Kalo kamu Potterhead, kamu mungkin juga merasa tidak asing. Eh, dari tadi saya tidak kasih tahu ya “The Porch House” itu dimana? Penginapan ini di Stow-on-the-Wold gaes. Di masa lalu, desa ini jadi sentra perdagangan wool, jadi banyak penginapan dan cafe untuk para pedagang yang datang dari desa-desa lain. Saat ini, desa ini menjadi semacam desa transit bagi turis yang mau menginap, makan, atau mencari oleh-oleh dari Cotswolds dan sekitarnya. Selain itu, tempat yang banyak diincar turis di desa ini adalah pintu gereja St. Edward yang diapit dua pohon besar dan konon katanya menjadi inspirasi film The Lord of the Rings. I’m not a fan of TLoTR, so i don’t know. Hehe. Jalan-jalan sore kami hari itu berakhir di Market Square, jantungnya Stow-on-the-Wolds. Saya minta tolong Ling untuk memotret saya yang lagi duduk di bangku kayu di taman. Dan karena saya tahu diri, saya nawarin Ling juga. “Tunggu Firda, saya pakai syal dulu, biar kayak kamu..”, kata Ling sambil ngerudungin syalnya ke kepala. Wah, saya terhuraaa. Lagi dan lagi, Semesta baik sekali. Hati saya “penuh” sekali, seolah habis di-charge full. Terima kasih orang-orang baik!

Foto sembarangan depan rumah orang.

Walaupun saya belum banyak pergi ke luar negeri, saat itu saya sudah memutuskan bahwa trip ke Bath dan Cotswolds ini adalah salah satu trip terbaik saya. Mulai dari pemandangan yang indah selama perjalanan dari London ke Bath, juga dari Bath ke Cotswolds. Lalu ketemu orang-orang baik yang mau menyapa, berteman, dan main sama orang asing. Trus yang paling paripurna tentunya jalan-jalan di desa yang cantik banget serasa syuting film. Dari awal cerita kok positif semua, emang engga ada sialnya ya? Alhamdulillah tidak ada, kecuali saat saya hampir ditinggal rombongan karena p*p kelamaan. Wkwk. Terima kasih Erika, kenangan di Cotswolds akan saya kenang untuk waktu yang lama. Semoga nanti bisa ketemu lagi di Cotswolds, Ling.
Ice Cream Chillin’ di Birbury
Ice cream chillin’ di Birbury.




10 komentar

  1. saat membaca seperti ikut kesana ... thx sis ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. asik-asik.. makasih ya sis udah mampir baca.. nanti kalo ada post baru, mampir lagi yah~

      Hapus
  2. Jd pengen jalan2 jugaaaa....

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa, yuk jalan-jalan yuk.. dunia udah baikan kayaknya.. hehe

      Hapus
  3. Balasan
    1. haha, geng dangdut koplo rud.. kirain akun jualan tahu, taunya rudi.. wkwk

      Hapus
  4. what a lovely trip, shinning bright firda, tapi rumor pintu gerja St Edward jadi inspirasi Door of Durin masih belum terkonfirmasi, masih berupa cocoklogi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pikir siapaa.. kok ganteng banget potonya.. wkwk.. iya nyo, masih cocoklogi.. anyway, makasih ya udah main kesini.. nanti main lagi yha..

      Hapus